Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Mengapa Beberapa Etnis Dan Suku Senang Merantau Dan Yang Lain Tidak ? “Sebuah Kajian Ethnic Identity dan Keputusan untuk Bermigrasi di Indonesia”

Photo by Aprilio Akbar/ANTARA

Jika membahas tentang etnik atau suku di Indonesia, maka tidak akan kehabisan topik.  Badan Pusat Statistik (2010) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya 1.471 suku bangsa yang tersebar di seluruh negara kesatuan Republik Indonesia. Mereka memiliki banyak perbedaan baik kondisi geografis, latar belakang sejarah, dan karakterisitk spesifik lainnya, termasuk penampilan fisik dan penggunaan bahasa. Perbedaan tersebut menimbulkan konsekuensi dalam bentuk keharmonisan tata sosial masyarakat dalam bentuk toleransi. Toleransi juga yang pada akhirnya menghasilkan fenomena migrasi etnis dan suku di Indonesia.

Beberapa kelompok etnis mungkin cenderung mendorong anggota tertentu untuk keluar dari desa kelahiran mereka, sementara yang lain mungkin menyarankan agar tetap tinggal. Preferensi etnis yang beragam terhadap migrasi ini dapat dipelajari, ditularkan, atau diajarkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya melalui norma-norma sosial yang dikembangkan dan dibagikan dalam setiap kelompok etnis. Norma dalam kelompok etnis tersebut memberikan identifikasi dan kepemilikan terhadap komunitasnya, dan cenderung mempengaruhi pengambilan keputusan individu dalam kelompok tersebut. Teori dari kajian sosiologi dan etnografi oleh Hugo (2015) menjelaskan bahwa migrasi atau keluar dari daerah asal suatu suku bisa menjadi salah satu kebiasaan atau budaya bagi kelompok etnis tertentu. Sebagai contoh budaya migrasi yang telah mandarah daging dapat dilihat pada suku seperti Minangkabau, Aceh, Batak, Rote, Banjar, dan Bugis. Sementara itu,  suku-suku seperti Jawa dan Maluku adalah contoh suku-suku yang cenderung tidak melakukan migrasi atau tetap hidup  di kampung halaman asal.

Fenomena migrasi pada tingkat suku ini memberikan gambaran tentang kondisi sosial ekonomi yang menjadi faktor pendorong dan penarik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Hugo pada tahun 2000 menunjukan bahwa  jika migrasi di Indonesia mayoritas dilakukan oleh penduduk miskin dari daerah desa menuju perkotaan dan mengisi pos lapangan pekerjaan informal yang ada di kota,  maka migrasi ini   memiliki motivasi pendorong dan penarik dari perbaikan kondisi ekonomi. Ada lagi faktor pendorong seperti minimnya lapangan pekerjaan di daerah, serta keengganan untuk bekerja pada sektor pertanian. Tentu motivasi-motivasi ini menimbulkan dampak secara sosial dalam kelas etnis. Ketersediaan tenaga kerja di daerah asal juga akan menjadi pertimbangan keberlanjuatan sebuah jenis lapangan kerja, sehingga memang mengetahui tingkah laku dan karaktersitik migran ini penting untuk pengambil kebijakan.

Masalahnya, studi dari Auwalin pada tahun 2019 yang merujuk pada publikasi Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa kajian kesukuan ini tergolong baru, karena pada masa Orde Baru sempat dihentikan karena adanya “political taboo” yang memandang  pembahasan suku adalah upaya yang dapat mengancam keutuhan bangsa, sehingga data etnis ini hanya tersedia sejak masa reformasi dan masa Pemerintah Belanda pada tahun 1930. Mengumpulkan data suku ini tergolong sulit karena terkait definisi suku itu sendiri.

Bauman (2004) mengatakan bahwa sulit untuk mendefinisikan suku. Pada umumnya, seseorang mengidentifikasi dirinya pada suku tertentu berdasar pada keturunan, kebiasaan hidup, bahasa, hubungan kekerabatan, atau bahkan unsur politik. Atas dasar-dasar itu, dalam sensus ataupun survei, pertanyaan dibuat terbuka dan menerapkan self identification method, yaitu suku yang dicatat berdasarkan pengakuan responden.

Namun, ditengah keterbatasan dan kesulitan kajian mengenai suku dan utamanya migrasi internal antar suku di Indonesia, Auwalin berhasil menemukan beberapa  temuan dari penelitiannya, seperti:

1. Migrasi adalah bagian dari budaya beberapa suku.

Proses merantau menjadi adat dan  sampai sekarang fenomena ini dianggap biasa. Selanjutnya merantau sering diharapkan oleh  laki-laki sebagai masa yang penting dalam taraf perkembangan menjadi dewasa. Selain faktor pendorong, seperti terbatasnya tanah pertanian, mobilitas mereka dipengaruhi oleh adanya kesempatan-kesempatan di tempat lain (faktor penarik)  dan juga oleh hasrat pribadi. Orang-orang yang merantau dianggap lebih berhasil daripada yang tinggal di kampung halamannya. Penelitian yang dilakukan oleh Maude dan Naim di tahun 1990-an menyatakan bahwa walaupun keadaan ekonomi sering dijadikan alasan untuk merantau,  tetapi mereka memberi tekanan pada faktor tradisi dan argumen bahwa kebudayaan merantau tertanam dengan dalam pada masyarakat-masyarakat perantau ini.

2. Kesesuain dengan teori social psychology dimana salient level of social indentity akan muncul lebih besar jika menjauh dari kelompok utamanya.

Dalam teori psikologi sosial, tingkat identitas sosial yang menonjol lebih tinggi ketika individu menjauh dari kelompoknya. Konteks mobilitas masyarakat di Indonesia telah menciptakan variasi dalam komunitas yang berdampak pada kemunculan  orang-orang dari berbagai etnis yang hidup bersama dalam satu komunitas. Individu-individu ini memiliki latar belakang etnis yang berbeda, beberapa dari kelompok etnis dengan norma-norma yang bermigrasi, sementara yang lain dari kelompok etnis yang tidak memiliki budaya merantau.

3. Penegasan temuan dari studi etnografi dan sosiologi tentang migrasi.

Kebenaran klaim dari studi sosiologi dan etnografi yang menujukan bahwa individu yang berasal dari kelompok etnis yang memiliki budaya merantau cenderung memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk bermigrasi dibandingkan dengan kelompok etnis yang tidak memiliki budaya merantau. Selain itu, kemungkinan migrasi yang lebih tinggi dari individu dari kelompok etnis yang memiliki budaya merantau terjadi ketika individu tidak dikelilingi oleh anggota kelompok etnis mereka sendiri. Meskipun kondisi ini juga dapat berlaku untuk individu dari kelompok etnis yang tidak memiliki budaya merantau, kemungkinan mereka untuk bermigrasi juga ada dengan kemungkinan pengaruhnya sangat kecil.

4. Implementasi pada pengambilan kebijakan

Dalam konteks pembuatan kebijakan, perlu kiranya melakukan pertimbangan lebih lanjut tentang karakteristik yang berbeda dari kelompok etnis yang berbeda dalam merancang dan menyampaikan kebijakan. Beberapa kebijakan mungkin memiliki dampak yang berbeda antar kelompok etnis yang berbeda. Salah satu kebijakan yang bisa dirumuskan adalah mengenai jejaring sosial etnis yang tentunya memberikan perlindungan terkait tingkat kesejahteraan pra- dan pasca-migrasi (merantau). Selain itu,  memperhitungkan rata-rata lama bermigrasi (merantau) akan memberikan gambaran dan pertimbangan pada masyarakat dalam berbagai etnis tentang keputusan mereka untuk bermigrasi.

**Tulisan ini disarikan dari Diskusi Internal RISED #5 dengan Topik “Ethnic Identity and Internal Migration Decision in Indonesia” yang ditulis oleh Ilmiawan Auwalin (2019)

**Penyari: Tegar Rismanuar Nuryitmawan (Direktur RISED)

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *