Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menargetkan Indonesia Bebas Pekerja Anak di tahun 2022. Sayangnya, fenomena anak yang bekerja masih sering ditemui, termasuk di antaranya adalah pekerja anak (child labour) di sektor tembakau. Di satu sisi, sektor tembakau masih dianggap sebagai sektor penting yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Di sisi lain, anak-anak yang hidup dalam kemiskinan disebut lebih rentan menjadi pekerja anak dikarenakan motif ekonomi sehingga masih banyak ditemukan anak-anak yang diperkerjakan di perkebunan tembakau sebagai tenaga murah.
Pekerja anak di sektor tembakau dihadapkan pada berbagai risiko, meliputi dampak buruk dari pestisida dan pupuk kimia, paparan sinar matahari dalam waktu lama, masalah pernafasan, serta dampak negatif dari mengangkat beban berat di perkebunan. Bahaya lain yang mungkin didapat adalah keracunan nikotin saat memanen daun tembakau yang ditandai dengan mual, pusing, nyeri perut, sakit kepala, hingga gangguan detak jantung dan tekanan darah, atau yang lebih dikenal sebagai Green Tobacco Sickness (GTS). Pada banyak kasus, fenomena ini dapat berpengaruh pada tingkat ketidakhadiran anak di sekolah karena kelelahan, sakit, atau siswa lebih memilih untuk bekerja daripada belajar. Namun ternyata berbagai risiko di sektor tembakau tidak serta-merta berujung pada rendahnya angka pekerja anak di sektor tersebut.
Studi oleh Andrina et al. (2021) yang dilakukan di Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lombok Tengah menemukan bahwa prevalensi pekerja anak di sektor tembakau dapat mencapai 70% di Lombok Tengah dan sekitar 10% di Probolinggo, terutama di masa panen. Sedangkan di luar masa panen, angka tersebut turun di kisaran 5-9%. Prevalensi pekerja anak yang tinggi di Lombok Tengah dapat disebabkan oleh area perkebunan yang lebih luas untuk flue-cured tobacco serta kapasitas produksi yang lebih besar, sehingga permintaan akan pekerja anak juga lebih besar. Sedangkan di Probolinggo, mayoritas petani tembakau memiliki lahan yang lebih sempit untuk sun-cured tobacco.
Studi yang sama juga mempelajari beberapa persepsi dari responden yang terdiri dari anak-anak dan orang dewasa terkait fenomena pekerja anak di sektor tembakau, dan studi ini berhasil menggambarkan kompleksitas dari isu pekerja anak tersebut. Sebagian besar responden meyakini bahwa anak tidak seharusnya bekerja di sektor tembakau dan juga terlibat dalam aktivitas berbahaya ketika bekerja. Selain itu, anak yang bekerja dapat terpapar masalah kesehatan dan mengganggu kegiatan belajar mereka di sekolah. Namun ternyata lebih dari 20% responden percaya bahwa bekerja tidak berdampak negatif pada anak, dan sekitar 50% dari para responden meyakini bahwa anak yang bekerja juga mendapatkan manfaat berupa penghasilan, pengalaman, sekaligus belajar untuk mandiri.
Fakta bahwa pekerja anak masih dianggap lumrah di masyarakat dapat menjadi hambatan terbesar dalam mencapai target Indonesia Bebas Pekerja Anak pada Tahun 2022. Selain upaya perbaikan ekonomi keluarga, pencegahan fenomena pekerja anak dapat didukung dengan upaya berupa advokasi hak anak meliputi diantaranya hak untuk belajar dan hidup sehat. Terakhir, edukasi terkait dampak negatif child labour masih sangat diperlukan untuk mencegah peningkatan angka pekerja anak di Indonesia, baik di sektor tembakau maupun sektor lainnya.
**** Disarikan dari Diskusi Internal RISED #14 dengan topik “Baseline Study on Child Labour in Tobacco-Growing Areas in Indonesia” oleh Michelle Andrina, M.S.E (pemateri) dan M. Syaikh Rohman, M.Ec (Discussant).
Penyari: Hesti R. B. Arini
Deputy Director for Research and Program – Research Institute of Socio-Economic Development