Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Stigma dan Realitas KDRT: Mengapa Penting Memahami Dinamika Pelaku dan Korban Tanpa Bias

Image taken from Canva

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sering dianggap sebagai salah satu pemicu permasalahan di dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian. Peran KDRT sebagai penyebab perceraian mengalami peningkatan dari yang awalnya sebanyak 3,271 kasus di tahun 2020 hingga mencapai 5,174 kasus di tahun 2023[1]. Peningkatan kasus KDRT perlu mendapatkan perhatian serius mengingat korban dan pelaku memiliki hubungan saling ketergantungan terutama dari sisi finansial dan emosional sehingga cara penanganannya tidak dapat disamakan dengan kasus kekerasan pada umumnya.

Saat ini, masih banyak masyarakat yang memandang KDRT hanya sebatas kekerasan fisik serta seksual yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan dan anak-anak. Pandangan ini mempersempit pemahaman mengenai KDRT, sehingga menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Persepsi ini diperkuat oleh berbagai studi yang menyebutkan bahwa mayoritas korban KDRT merupakan perempuan yang mengalami luka fisik serius dan memerlukan penanganan medis[2]. Sebagian besar data kasus KDRT yang tersedia juga berasal dari laporan yang dilayangkan oleh pihak perempuan[3], sehingga memperkuat anggapan bahwa pelaku kasus kekerasan adalah laki-laki. Selain itu, adanya pandangan bahwa secara psikologis laki-laki cenderung lebih agresif dibanding dengan perempuan turut memperkuat stereotip ini.

Persepsi yang sempit ini membatasi pemahaman tentang KDRT dan mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan lain yang sebenarnya sudah diakui dalam literatur ilmiah maupun naskah hukum. Pasal 5 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Lebih lanjut, Pasal 1 poin 2 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa korban KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Meskipun pada Pasal 1 poin 1 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan definisi KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, tidak ada ketentutan yang menyatakan bahwa korban KDRT harus perempuan. Artinya, KDRT dapat menimpa siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.

Definisi KDRT (domestic violence) bervariasi dalam berbagai studi, namun secara umum KDRT didefinisikan sebagai pola perilaku kekerasan yang mencakup kekerasan fisik, psikologis, seksual dan kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh orang dewasa kepada pasangannya[4]. KDRT juga dapat terjadi dalam berbagai hubungan keluarga, termasuk antara orang tua dan anak, anak usia dewasa dengan orang tua lanjut usia, serta antar saudara[5]. Tidak ada argumen yang secara spesifik menyebutkan bahwa laki-laki tidak bisa menjadi korban KDRT atau bahwa perempuan tidak mungkin menjadi pelaku KDRT.

Persepsi bahwa pelaku KDRT hampir selalu laki-laki adalah pandangan yang tidak sepenuhnya tepat karena gender tidak dapat dijadikan sebagai prediktor kecenderungan agresi baik dari sisi fisik maupun psikis[6]. Studi Williams dan Frieze pada tahun 2005 menemukan bahwa 21.6 % korban KDRT adalah laki-laki dan 28.7 % korban KDRT adalah perempuan, sementara 49 % kasus KDRT merupakan kasus dimana pihak laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi pelaku KDRT[7]. Meskipun perempuan masih tercatat sebagai korban terbanyak, namun selisih jumlah korban antara perempuan dan laki-laki relatif kecil. Temuan ini, selanjutnya, juga menunjukkan bahwa KDRT sering bersifat timbal balik, dengan kedua pihak saling melakukan kekerasan.

Selain adanya persepsi keliru tentang siapa yang berpotensi menjadi pelaku KDRT, masalah lain yang sering terjadi adalah rendahnya tingkat pelaporan dari laki-laki korban KDRT. Hanya 1-2% laki-laki korban KDRT yang melapor kepada pihak berwenang. Keengganan ini sering kali berakar dari norma sosial yang menuntut laki-laki untuk selalu tampil kuat secara fisik dan mental sehingga mereka merasa malu dan takut untuk mengakui sebagai korban. Selain faktor kultural, alasan lain yang membuat laki-laki enggan melapor adalah karena ada ketakutan bahwa aparat berwenang tidak menanggapi laporan mereka dengan serius[8].

Stigma bahwa pelaku KDRT didominasi oleh laki-laki dan mayoritas korban adalah perempuan perlu ditinjau ulang secara kritis. Penting untuk meninjau kembali apakah pandangan tersebut berasal dari data empiris yang menelaah masalah KDRT secara berimbang atau hanya dilandasi oleh data khusus yang berasal dari laporan kasus KDRT dari institusi tertentu. Pemahaman yang lebih komprehensif dan tidak tendensius tentang relasi pelaku-korban KDRT diharapkan dapat mengurai benang kusut kasus KDRT di Indonesia yang belakangan semakin meningkat dan dapat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Pemahaman yang mendalam juga dapat digunakan sebagai landasan untuk memetakan strategi pencegahan KDRT yang lebih efektif dan tepat sasaran.

 

Akiraka Ramadhan

Peneliti Rembukan Ilmu Sosial Ekonomi Daerah (RISED)

 

Referensi

[1] Jumlah Perceraian<sup>1</sup> Menurut Provinsi dan Faktor, 2023 – Tabel Statistik – Badan Pusat Statistik Indonesia (bps.go.id)

[2] Huecker MR, King KC, Jordan GA, Smock W. Domestic Violence. 2023 Apr 9. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan–. PMID: 29763066.

[3] Williams SL, Frieze IH. Patterns of violent relationships, psychological distress, and marital satisfaction in a national sample of men and women. Sex Roles 2005;52:771-84.

[4] Ganley, A., and Schechter, S. Domestic violence: A national curriculum for child protective services. San Francisco: Family Violence Prevention Fund, 1996, p. 5.

[5]  Huss MT. Forensic psychology. Research, clinical practice, and applications. Singapore: Wiley-Blackwell; 2009

[6] Moffitt TE, Caspi A, Rutter M, Silva PA. Sex differences in antisocial behaviour. Cambridge: Cambridge University Press; 2001

[7]  Williams SL, Frieze IH. Patterns of violent relationships, psychological distress, and marital satisfaction in a national sample of men and women. Sex Roles 2005;52:771-84.

[8] Fontes DL. Male victims of domestic violence. In: Hamel J, Nicholls TL, eds. Family intervention in domestic violence. New York: Springer Publications; 2007. pp 303-318.

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *