Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Anak-anak Indonesia Dalam Jerat Industri Tembakau

Picture by Michelle Siu / Time Magazine

Industri tembakau diketahui memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Walaupun hanya menyumbang 1% pada produk domestik bruto (PDB), tanaman yang mulai dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 1600-an ini menyerap banyak tenaga kerja karena sifatnya yang padat karya (Fadliansyah, 2020). Berdasarkan data Kemenperin RI (2019), industri rokok yang berbahan baku tembakau mampu menyerap 5,98 juta tenaga kerja dengan sebagian besar pekerja berada di sektor manufaktur dan distribusi. Sedangkan sisanya atau sekitar 1,7 juta orang bekerja secara langsung di perkebunan tembakau. Perkebunan tembakau yang termasuk ke dalam sektor agrikultur menyumbang 0,3% dari nilai total produksi pertanian di Indonesia (Rachmat, 2016). Sayangnya, International Labour Organization (ILO) menganggap sektor agrikultur sebagai salah satu dari tiga sektor yang berbahaya dalam hal fatalitas pekerjaan, kecelakaan non-fatal, dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan (SEATCA, 2018). Ini berarti sebanyak 1,7 juta tenaga kerja Indonesia yang sehari-hari bekerja di perkebunan tembakau mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan mereka.

Sebagai salah satu industri padat karya, perkebunan tembakau menekankan produktivitasnya pada kebun yang dikelola dalam skala rumah tangga, di mana para buruh kerap mengikutsertakan anak mereka ketika bekerja (SEATCA, 2018). Hal ini mengakibatkan praktik-praktik kerja pada perkebunan tembakau tidak luput dari fenomena child labor atau pekerja anak. Merujuk pada definisi ILO (2019), istilah “pekerja anak” sering diartikan sebagai pekerjaan yang merampas masa kanak-kanak, potensi dan martabat anak-anak, serta berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental mereka. Selain merampas hak-hak dasar anak dan mengancam masa depan mereka, dalam bentuk yang lebih ekstrem, praktik child labor bahkan dapat mengakibatkan kematian pada anak (UNICEF, 2020) 

Belum terdapat jumlah pasti berapa banyak anak Indonesia yang bekerja di perkebunan tembakau, tetapi penelitian yang dilakukan Human Rights Watch (2016) menunjukkan bahwa anak-anak tersebut bekerja tanpa fasilitas memadai, dan satu pertiga dari 150 anak yang diwawancarai mengaku bahwa mereka mulai bekerja ketika berusia 12 tahun. Padahal, berdasarkan Pasal 69 UU No.13 Tahun 2003, anak baru boleh melakukan pekerjaan di umur 13 sampai 15 tahun, dan itupun terbatas pada pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan anak.

Permasalahan muncul ketika buruh anak di perkebunan tembakau mengalami gangguan kesehatan setelah bekerja dalam waktu yang cukup lama. Salah satu anak yang diwawancarai Human Rights Watch, Ayu (13), mengaku mengalami muntah dan pusing ketika memanen tembakau. Beberapa anak lainnya melaporkan mereka mengalami masalah pernapasan, serta  iritasi kulit dan mata akibat terpapar nikotin, pestisida, dan panas matahari yang menyengat. Namun rupanya, rasa sakit itu tidak sebanding dengan upah yang mereka terima karena para buruh anak kerap tidak mendapatkan upah yang memadai akibat mereka bekerja di lahan keluarga.

Pekerjaan yang dilakukan anak-anak di perkebunan tembakau bervariasi mulai dari menggali tanah dengan cangkul untuk menyiapkan ladang untuk ditanami, menanam bibit tembakau, mengairi ladang, menerapkan pupuk, memangkas bunga dan daun dari tanaman, serta mencampur dan mengaplikasikan pestisida (Human Rights Watch, 2016). Kondisi lain yang disorot adalah pakaian para pekerja anak yang basah akibat embun pagi dari tanaman tembakau. Salah satu zat dari tembakau, nikotin, diketahui lebih mudah terserap kulit ketika zat tersebut larut dalam air. Aktivitas ini membuat buruh anak rentan terpapar racun nikotin. Sebelum bekerja, sebenarnya para buruh anak juga mendapatkan pendidikan khusus terkait risiko bekerja di ladang tembakau dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, itu tidak cukup mengedukasi para buruh anak terkait bahaya yang mereka terima karena terdapat materi-materi yang luput diajarkan seperti bahaya nikotin jika terserap kulit ataupun cara melindungi diri dari pestisida.

Lantas, bagaimana pemerintah seharusnya bertindak untuk mengatasi hal ini? Merujuk pada hukum internasional, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan anak, termasuk menyelamatkan mereka dari praktik child labor (Human Rights Watch, 2016). Melalui ratifikasi berbagai Konvensi ILO terkait perburuhan dan pekerja anak, Indonesia menunjukkan komitmennya untuk melindungi para buruh ataupun anak-anak yang rentan.

Indonesia diketahui memiliki ambisi untuk menghapus pekerja anak tahun 2022 dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN PBPTA) (2002-2022). Seperti yang tercantum dalam Keppres RI No. 59 Tahun 2002, RAN PBPTA bertujuan untuk mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang ada di Indonesia dengan menggunakan berbagai strategi seperti penentuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara bertahap dan melibatkan semua pihak di semua tingkatan. Data SUSENAS menunjukkan bahwa pada 2019 masih terdapat 1,6 juta pekerja anak di Indonesia. Sementara itu, Kementerian PPPA (2020) memprediksi sebelas juta anak Indonesia berpotensi masuk ke dalam jeratan praktik child labor akibat pandemi COVID-19. 

Berdasarkan laporan U.S. Department of Labor (2018), pemerintah Indonesia masih kekurangan tenaga inspektor dan dana untuk memonitor praktik pekerja anak di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia yang memiliki otoritas penuh perlu memfasilitasi lebih banyak SDM dan memastikan ketersediaan dana untuk kegiatan inspeksi. Berkaca pada nihilnya jumlah data terkait jumlah pasti pekerja anak di Indonesia, maka pemerintah juga perlu menggencarkan riset untuk mendapatkan data-data relevan terkait pekerja anak, khususnya di perkebunan tembakau. Namun satu hal yang pasti adalah diperlukan sinergi dari berbagai pihak, tidak terkecuali pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk benar-benar mewujudkan Indonesia bebas pekerja anak pada 2022.

Penulis: Rizki Nur Alifah Taufik
Staf Intern RISED
Mahasiswi S1 Akuntansi, Universitas Indonesia.

 

 

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *