“Zaman beralih musim tertukar”
Sebuah peribahasa yang menyiratkan pesan bahwa segala sesuatu hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang tengah terjadi. Ketika seseorang tidak tanggap terhadap perubahan-perubahan tersebut, maka orang itu akan tertinggal dan hanya mendapatkan kerugian.
Peribahasa tersebut nampak relevan dengan kondisi sektor informal Indonesia saat ini. Sebelum adanya resesi di tahun 2020, Indonesia pernah mengalami masa-masa sulit seperti krisis 1997/1998 dan krisis 2008. Akan tetapi, pada dua episode mimpi buruk perekonomian tersebut, sektor informal hadir sebagai penyelamat dengan menyerap banyak tenaga kerja sehingga angka pengangguran dapat ditekan dan secara berangsur-angsur kondisi ekonomi membaik.
Meskipun begitu, kondisi yang terjadi di masa sekarang tidak dapat disamakan dengan apa yang terjadi di masa lampau. Resesi ekonomi Indonesia di tahun 2020 bukan terjadi akibat adanya capital flight, harga minyak bumi yang meroket, atau jatuhnya pasar saham Amerika. Namun, saat ini perekonomian dihadapkan dengan musuh baru berbentuk virus tak kasat mata yang menyebabkan kelumpuhan aktivitas ekonomi secara global dan menyeluruh. Sehingga sektor informal yang selama ini menjadi pahlawan ketika krisis melanda, turut menjadi korban.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) pada bulan Agustus 2020, sektor informal mendominasi struktur ketenagakerjaan dengan persentase 60,47 persen sedangkan sektor formal hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 39,53 persen (BPS, 2020). Ironisnya, sektor informal tengah mengalami keterpurukan. Flourish Ventures (2020) melakukan riset terkait kondisi pekerja sektor informal di Indonesia dan hasilnya 86 persen responden menyatakan bahwa mereka mengalami penurunan pendapatan. Bahkan, berdasarkan riset yang sama sebanyak 58 persen responden menyatakan bahwa tidak akan sanggup menyambung hidup selama satu minggu ke depan tanpa meminjam uang.
Menunggu situasi kembali normal atau beradaptasi dengan keadaan?
Adanya pandemi tidak dapat dipungkiri menjadi hambatan bagi masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Keterbatasan dalam melakukan kegiatan jual beli konvensional secara tatap muka tentu menyulitkan pelaku ekonomi pada sektor informal. Pada akhirnya mereka dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu berusaha seadanya dan menunggu ditengah ketidakpastiaan sembari berharap situasi lekas kembali normal atau memilih untuk berinovasi dengan beradaptasi terhadap situasi terkini.
Tentunya dengan asumsi manusia sebagai pelaku ekonomi rasional, beradaptasi menjadi pilihan paling logis untuk dipilih. Lantas, bagaimana bentuk adaptasi tersebut?
Jawabannya adalah sektor informal harus bertransformasi dengan ikut terjun ke dalam dunia ekonomi digital. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan adanya peluang pasar yang diindikasikan oleh banyaknya pengguna internet di Indonesia. Setidaknya terdapat 196,7 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet (APJII, 2020). Selain itu, selama pandemi berlangsung terjadi peningkatan belanja online oleh masyarakat Indonesia hingga hampir mencapai 60 persen (McKinsey & Company, 2020)
Melihat peluang yang ditawarkan dengan adanya pemanfaatan teknologi digital, maka diperlukan solusi strategis agar peluang tersebut dapat dioptimalkan oleh pelaku ekonomi pada sektor informal. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran dari pelaku ekonomi sektor informal untuk beradaptasi dan menangkap peluang pasar yang terjadi akibat pandemi.
Maka dari itu, pemerintah perlu mengambil tindakan dengan melakukan pemberdayaan teknologi digital melalui sosialisasi dan pemberian pelatihan bisnis yang memanfaatkan internet untuk keperluan pemasaran. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat mencanangkan untuk memperbanyak area publik dengan layanan internet gratis sehingga dapat mempermudah dan menekan tambahan biaya bagi pelaku ekonomi sektor informal yang akan menjalankan usahanya secara digital.
Suksesi transformasi digital pada sektor informal tentunya tidak hanya membutuhkan kesadaran dari pelaku di dalamnya maupun peran dari pemerintah, namun juga kepekaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi yang dialami oleh sektor informal. Semangat gotong royong yang terangkum dalam kalimat “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” akan menjadi katalis dalam mewujudkan wacana tersebut.
Referensi
Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). (2020). Laporan Survei Internet APJII 2019-2020 (Q2).
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020). Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020.
Flourish Venture. (2020). The Digital Hustle Gig Worker Under Financial Pressure.
McKinsey & Company. (2020). Survey: Indonesian consumer sentiment during the coronavirus crisis. Retrieved from Mckinsey.com: https://www.mckinsey.com/business-functions/marketing-and-sales/our-insights/survey-indonesian-consumer-sentiment-during-the-coronavirus-crisis
**Artikel ditulis oleh Iqram Ramadhan Jamil – Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran – Instagram iqramadhan
**Artikel merupakan artikel terpilih dalam event RISED OPEN ARTICLE EDISI 3
**Segala informasi yang kami muat dalam artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak merepresentasikan pandangan institusi