Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Ekonomi Digital yang Inklusif: Lebih dari Pemerataan Jaringan Internet

Photo by Christo Hantarikso/Media Indonesia

Pandemi COVID-19 menyebabkan perubahan drastis hampir pada seluruh aktivitas sosial dan ekonomi. Upaya pencegahan penyebaran virus yang mengharuskan masyarakat untuk membatasi mobilitas dan aktivitas di ruang publik mengharuskan seluruh sektor beradaptasi. Salah satu caranya adalah dengan pemanfaatan teknologi digital. Hal ini memiliki dampak positif pada agenda pemerintah Indonesia untuk mendorong percepatan pengembangan ekonomi digital. Namun, apakah capaian ini berdampak baik bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali atau justru akan semakin memperparah ketimpangan?

Terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan ekonomi digital yang inklusif, yaitu jaringan internet dan infrastruktur pendukung, akses dan pemanfaatan internet, transformasi digital, dan jaminan sosial. Sebab, ekonomi digital yang inklusif tidak hanya berarti ketersediaan akses yang merata, baik di desa maupun di kota atau di Jawa maupun di luar Jawa, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dapat menerima manfaat baik dari ekonomi digital tersebut.

Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar, bahkan menjadi nomor satu di ASEAN. Pada tahun 2019, nilai ekonomi digital Indonesia adalah sebesar Rp 595,4 triliun dan di tahun 2025diprediksi akan mencapai US$ 133 miliar atau setara dengan Rp 1,7 kuadriliun [1]. Nilai tersebut merupakan besaran yang fantastis, tetapi hal yang sama belum tentu terjadi apabila kita melihat dari perspektif ekonomi digital yang inklusif.

Ketimpangan akses digital masih sangat kentara dalam aspek demografi, wilayah, kelas ekonomi, sektor, dan gender. Pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi Y dan Z, masyarakat perkotaan dan kelompok berpendapatan tinggi. Pengguna internet di daerah perdesaan masih sangat terbatas, sehingga berdampak pada minimnya transformasi sektoral pada sektor pertanian. Dibandingkan 16 sektor lainnya, sektor pertanian adalah sektor dengan pengguna internet paling sedikit. Sedangkan dari segi gender, pengguna internet didominasi oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan ketimpangan gender yang relatif masih tinggi.

Selain itu, pemanfaatan internet juga masih sangat terbatas. Mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan internet hanya untuk keperluan komunikasi non-bisnis dan hiburan. Fakta ini bisa jadi disebabkan oleh literasi digital yang masih rendah, sehingga masyarakat belum memiliki kecakapan untuk mengeksplorasi penggunaan media digital.

Ketimpangan tidak hanya muncul karena keterbatasan sarana dan prasarana pendukung, tetapi juga karakteristik masyarakat. Hal krusial yang juga harus ditumbuhkan agar masyarakat dapat menikmati hasil dari ekonomi digital adalah kemampuan beradaptasi dan kesediaan untuk menjadi pembelajar seumur hidup (long life learner). Ekonomi digital memberikan kemudahan dan kesempatan bagi siapa saja, tetapi untuk bertahan dalam ekosistem ini adalah hal yang berbeda. Pace yang dinamis membuat perubahan dalam waktu singkat adalah hal yang wajar. Semua pelaku usaha berlomba untuk berinovasi, sehingga akan sulit bagi yang enggan untuk terus belajar mengikuti perkembangan zaman.

Adanya kesenjangan dari berbagai macam aspek membuat ekonomi digital berpotensi meningkatkan ketimpangan di Indonesia. Dengan kondisi yang demikian, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya fokus pada penyediaan akses dan infrastruktur digital tetapi juga pada pengembangan digitalisasi agar mendapat manfaat ekonomi digital yang merata, berkualitas, dan berkelanjutan.Upaya ini bisa dilakukan dalam empat tahap. Dimulai dengan penyediaan akses digital dan jaringan internet yang terjangkau, meningkatkan literasi digital, mendorong digitalisasi yang berujung pada transformasi digital, dan menyediakan jaminan sosial untuk para pekerja digital.

Disarikan oleh Faradilla Rahma Sari dari Diskusi Internal RISED dan Paper “Inclusive Digital Economy” oleh Palmira Permata Bachtiar (Peneliti Senior SMERU Research Institute) yang ditanggapi oleh Rumayya, Ph.D. (Advisor RISED) sebagai discussant.

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *