Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Masyarakat Kelas Menengah dan Defisit BPJS: Analisis dari Perspektif Ekonomi Perilaku

photo by www.finansial-bisnis.com

Penyediaan akses layanan kesehatan yang merata untuk seluruh masyarakat menjadi salah satu target pembangunan suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Sejak tahun 2014, Pemerintah Indonesia berupaya untuk menyediakan Jaminan Kesehatan Semesta (JKS) atau universal health coverage (UHC) melalui pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sistem tersebut menjadi salah satu bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia untuk memastikan setiap penduduk Indonesia memliki akses terhadap layanan kesehatan yang baik dengan biaya terjangkau. Salah satu program dari SJSN adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dari segi pembiayaan, UHC di Indonesia menggunakan pendekatan kontributori (contributory approach) bukan pembiayaan dari pajak (tax-based approach) [1]. Artinya, pembiayaan tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. JKN untuk kelompok masyarakat miskin atau yang dikenal dengan JKN-KIS (JKN-Kartu Indonesia Sehat) ditanggung penuh oleh merintah melalui pembiayaan subsidi, JKN untuk pekerja sektor formal akan ditanggung oleh perusahaan atau instansi tempatnya bekerja, sedangkan JKN untuk kelompok masyarakat diluar dua kategori tersebut sifatnya sukarela (voluntarily) dan pembiayaannya dilakukan secara mandiri.

Per Mei 2019, tercatat 221,5 juta jiwa masyarakat Indonesia telah masuk dalam program JKN-KIS [2]. Namun di sisi lain, BPJS terus mengalami defisit sejak tahun 2015 hingga 2019. Diperkirakan salah satu penyebabnya adalah pembayaran premi dari kelompok mandiri yang tidak berkelanjutan. Tingkat pembayaran dari orang yang terdaftar sebagai peserta hanya sekitar 80% [3]. Mengingat mayoritas peserta JKN mandiri mayoritas adalah masyarakat kelas menengah dan bekerja di sektor informal, hal ini lumrah terjadi. Mengumpulkan kontribusi dari kelompok informal menjadi hal yang relatif sulit dan membutuhkan usaha serta biaya yang tidak sedikit, seperti yang terjadi di Filipina [4]. Defisit BPJS terus meningkat dan diprediksi mencapai 40,7 triliun di tahun 2025 apabila tidak terjadi perubahan di kondisi sekarang [5].

Penelitian yang mengulas perilaku masyarakat pekerja sektor informal dalam membayar premi JKN mandiri menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi rutinitas kelompok masyarakat tersebut. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh adalah karakteristik rumah tangga, pendapatan, pengetahuan tentang program, kebiasaan dalam menggunakan layanan kesehatan dan ketersediaan tenaga kesehatan di lingkungan sekitar.

Faktor-faktor tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sosial dan ekonomi rumah tangga akan sangat berpengaruh pada keberlanjutan pembayaran premi. Rumah tangga yang bekerja di sektor informal relatif memiliki pendapatan yang tidak stabil, tidak dapat ditentukan setiap harinya. Dengan adanya aspek lain seperti jumlah anggota rumah tangga dan masalah keuangan yang dihadapi membuat mereka sulit memenuhi kewajiban untuk membayar premi JKN secara ruti setiap bulan.

Di sisi lain, faktor pengalaman, pengetahuan dan lingkungan menjadi pendorong pekerja sektor informal untuk rutin membayar premi. Orang yang punya pengalaman membayar layanan rumah sakit sebelum mengikuti JKN cenderung rutin membayar premi. Ketakutan kehilangan (loss aversion) membuat orang menghindari kemungkinan untuk mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan di kemudian hari, sehingga mereka lebih memilih untuk membayar JKN [6]. Selain itu, mereka yang memiliki pengetahuan lebih tentang program JKN beserta manfaatnya dan sudah terbiasa menggunakan layanan kesehatan juga cenderung lebih rutin membayar.

Temuan ini sesuai dengan konsep capability approach yang dicetuskan oleh Amartya Sen [7]. Konsep tersebut menyiratkan bahwa perspektif seseorang dalam memandang kebutuhan dan kepuasannya bergantung pada aspek internal dan eksternal. Aspek internal lebih mengarah pada kebebasan (freedom) dan melakukan apa yang mereka yakini (functionings). Individu selalu lebih paham tentang kebutuhan dan prioritasnya, sehingga keputusan mereka untuk taat pada suatu hal dapat berbeda. Sedangkan aspek eksternal adalah faktor luar yang membentuk kebiasaan/perilaku pada individu. Contohnya pada kasus ini adalah pekerja informal yang relatif tidak familiar dengan layanan kesehatan formal cenderung tidak termotivasi untuk membayar premi JKN secara rutin.

Namun, temuan studi tersebut juga mengindikasikan bahwa perilaku dan perspektif masyarakat masih dapat diubah dengan cara memberikan informasi dan bukti riil kepada masyarakat. Interaksi sosial antar masyarakat dapat menjadi salah satu jalan untuk membentuk karakter individu [8]. Contohnya, sosialisasi program, kampanye kesehatan dan pemanfaatan JKS hingga menyediakan tenaga kesehatan di daerah-daerah dapat memberikan gambaran komprehensif tentang layanan kesehatan dan manfaatnya untuk masyarakat. Pengalaman tersebut dapat menunjukkan kebermanfaatan keanggotaan JKN dan mendorong individu untuk membayar premi secara rutin.

Dari banyaknya aspek ekonomi dan sosial yang dapat mempengaruhi perilaku individu, penting untuk melihat karakteristik masyarakat ketika akan menetapkan pendekatan kebijakan. Sebab, hal tersebut dapat menentukan keberhasilan, kebermanfaatan, efektivitas, dan efisiensi dari program. Salah satu contoh konkrit adalah untuk mengurangi masalah defisit yang dialami oleh BPJS.

 

Penulis : Faradilla Rahma Sari

RISED Deputy Director of Business Development 

Referensi:

[1] Dartanto, T., dkk. (2020). Why Do Informal Sector Workers Not Pay the Premium Regularly? Evidence from the National Health Insurance System in Indonesia. Applied health economics and health policy18(1), 81-96.

[2] Anonim. (2019). Info BPJS Kesehatan Edisi 72. Jakarta: BPJS Kesehatan.

[3] Agustina, R., dkk. (2019). Universal health coverage in Indonesia: concept, progress, and challenges. The Lancet393(10166), 75-102.

[4] Lagomarsino G, Garabrant A, Adyas A, Muga R, Otoo N. (2012). Moving towards universal health coverage: health insurance reforms in nine developing countries in Africa and Asia. Lancet. 380(9845), 933–43.

[5] Dartanto, T. (2017). Universal Health Coverage in Indonesia: informality, fiscal risks and fiscal space for financing UHC. IMF-JICA Conference Tokyo 2017. Diakses melalui: https ://www.jica.go.jp/jicari/news/topic s/20170 202_01.html.

[6] Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). On the interpretation of intuitive probability: A reply to Jonathan Cohen. Cognition, 7(4), 409–411.

[7] Sen, A. (2001). Development as freedom. Oxford University Press.

[8] Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). New York: Greenwood.

Photo by www.finansial.bisnis.com

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *