Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Mimpi Indonesia Tanpa Kemiskinan

kemiskinan

Photo: Tim Shepherd/ Unsplash.

Minggu, 20 Oktober 2019 lalu, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin telah resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2019-2024.

Dalam pidatonya setelah pelantikan, presiden Jokowi menyampaikan mimpi-mimpi besarnya untuk Indonesia pada tahun 2045, tepat saat Indonesia merayakan 1 abad kemerdekaannya.

Salah satu mimpi besar Presiden Jokowi adalah Indonesia menjadi negara maju dengan tingkat kemiskinan mendekati nol persen dari total penduduk Indonesia. Hal ini berarti, pada tahun tersebut hampir dipastikan tidak ada orang miskin di Indonesia.

Pertanyaan yang muncul adalah jika melihat pecapaian penurunan kemiskinan Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, apakah mimpi besar tersebut akan terwujud?

Dalam konteks Indonesia, seseorang atau rumah tangga dikategorikan miskin jika rata-rata pengeluaran perbulan mereka berada dibawah garis kemiskinan, sebuah standar yang mencerminkan kebutuhan makanan dan non-makanan minimal untuk bisa hidup secara layak.

Berdasarkan survei BPS periode Maret 2019, garis kemiskian nasional Indonesia adalah Rp.425.250,00 per orang atau setara dengan Rp. 1.990.170,00 per rumah tangga. Artinya, jika rata-rata pengeluaran perbulan seseorang atau rumah tangga dibawah nominal tersebut, mereka akan dikelompokkan sebagai penduduk miskin.

Berdasarkan garis kemiskinan ini, terdapat 25,14 juta penduduk miskin atau sekitar 9.41 persen dari total penduduk Indonesia per Maret 2019. Jika dibandingkan dengan periode yang sama ditahun sebelumnya, terdapat 25,95 juta penduduk miskin, setara dengan 9,82 persen. Terdapat penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 800 ribu orang atau setara dengan 0,41 persen dalam satu tahun terakhir.

Indikator kemiskinan lain seperti indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) juga menunjukkan kemajuan yang cukup siginfikan. Indeks ini menggambarkan kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Artinya, semakin tinggi indeks ini, semakin besar pula kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan itu sendiri.

Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan terus mengalami penurunan dari 1.83 pada Maret 2017 menjadi 1.71 pada Maret 2018 dan kemudian mencapai 1.55 per Maret 2019. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa selisih antara rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin berkurang. Dengan kata lain, terdapat perbaikan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat miskin.

Kondisi ini menggambarkan pencapaian Indonesia, bersama dengan China dan India sebagai salah satu kontributor terbesar penurunan tingkat kemiskinan global selama dua dekade terakhir (Bank Dunia).

Jika di tahun 1990 terdapat 1,9 milyar penduduk, atau sekitar 36 persen dari populasi dunia, hidup dibawah garis kemiskinan 1,90 dollar AS per hari dengan pusat kemiskinan di wilayah Asia, di tahun 2018 tingkat kemiskinan global tersisa 8,6 persen dari total populasi atau sekitar 650 juta penduduk saja dangan pusat kemiskinan di wilayah Sub-Sahara Afrika. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan di wilayah Asia Timur dan Selatan menjadi faktor penting pencapaian dramatis ini.

Meskipun beberapa indikator pencapaian penaggulangan kemiskinan menunjukkan trend yang positif, terdapat beberapa catatan terkait tantangan pengentasan kemiskinan di Indonesia ke depan guna mencapai target di tahun 2045.

Tantangan pertama adalah laju penurunan tingkat kemiskinan yang semakin melambat. Jika pada periode 1970an hingga 1990an laju penurunan tingkat kemiskinan berada diangka 1,9 persen, selama periode 2002 hingga 2017 rata-rata laju penurunan kemiskinan justru hanya sebesar 0.5 persen (Yusuf, 2018).

Semakin sedikit penduduk miskin yang mampu keluar dari jeratan kemiskinan setiap tahunnya. Ada beberapa potensi penyebab semakin rendahnya laju penurunan kemiskinan. Pertama, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada diangka 5 persen.

Studi yang dilakukan Auwalin (2009) menyebutkan bahwa dibutuhkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen guna menurunkan kemiskinan secara signifikan di Indonesia. Kedua, relatif tingginya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Indeks Gini sebagai ukuran ketimpangan pendapatan (dengan nilai 0 adalah tidak ada ketimpangan dan skor 1 adalah ketimpangan sempurna) menunjukkan pada tahun 2018, Indeks Gini Indonesia sebesar 0,389.

Indeks ini memang sedikit menurun jika dibandingkan periode tahun 2017 yang mencapai 0,393 dan pada tahun 2016 sebesar 0,397. Akan tetapi, dibandingkan beberapa negara ASEAN lain, Indeks Gini Indonesia terbilang cukup tinggi.

Kondisi ini dapat dimaknai bahwa “kue ekonomi” yang ada di Indonesia lebih banyak dinikmati oleh kelompok dengan pendapatan tinggi. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada diangka 5 persen ini bersifat tidak inclusive, hanya bermanfaat untuk kelompok terkaya Indonesia.

Tantangan kedua adalah ketimpangan kemiskinan dalam dimensi wilayah seperti ketimpangan kemiskinan antara perdesaan dan perkotaan dan ketimpangan kemiskinan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Kemiskinan di Indonesia didominasi oleh kemiskinan perdesaan dengan mayoritas bekerja disektor pertanian. Selain itu, laporan Bappenas (2018) juga menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2014-2018, provinsi-provinsi di KBI mampu mengurangi kemiskinan sebesar 2,62 persen pertahun sementara provinsi-provinsi di KTI hanya mampu 0,19 persen per tahun.

Dari sisi makroekonomi, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas harga-harga (inflasi) menjadi kunci menghadapi permasalahan ini. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dapat diraih dengan terus mendorong bertumbuhnya industri manufaktur atau pengolahan sebagai penyerap tenaga kerja yang cukup besar.

Pengembangan industri manufaktur berbasis pertanian dapat dioptimalkan guna mengentaskan kemiskinan di wilayah perdesaan. Menurut Suryahadi dkk (2006), pertumbuhan sektor pertanian adalah kontributor terbesar dalam mengurangi kemiskinan Indonesia sehingga optimalisasi peran industri manufaktur berbasis pertanian menjadi sangat sentral.

Untuk menghadapi ketimpangan kemiskinan antar wilayah, pembangunan infrastrukur harus terus dilakukan khususnya di wilayah-wilayah tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan kondisi kemiskinan yang bersifat struktural.

Wilayah ini harus mendapatkan perhatian lebih, tidak hanya dalam aspek pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan raya, listrik, air, dan internet namun juga soft- infrastructure dalam bentuk sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan).

Dan mengingat proses pembangunan infrastrukur tidak secara langsung memberikan hasil, maka program-program bantuan sosial seperti Raskin dan Program Keluarga Harapan (PKH) juga seharusnya dilanjutkan.

 

This article was published on josstoday.com


Article written by Wahyu Wisnu Wardana
Deputy Director for Research & Programs of RISED.

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *