Menurut data UNICEF 2017, Indonesia menempati urutan ke dua tingkat stunting tertinggi setelah Laos. Stunting merupakan salah satu masalah yang dihadapi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9 persen dan yang menderita kurang gizi sebesar 13,8 persen.
Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari 20 persen atau balita kurus di atas 5 persen. Adapun prevalensi balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) di tahun 2018 sebesar 30,8 persen, turun dibanding hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2 persen.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (balita) yang disebabkan oleh gizi buruk kronis sehingga mengakibatkan pertumbuhan anak tidak maksimal. Kondisi kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi masih dalam kandungan dan awal kelahiran, karena pada fase tersebut akan menentukan tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan dan keaktifan seseorang di masa depan.
Namun, kondisi bayi yang mengalami stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Menurut laporan TNP2K tahun 2018, selain kurangnya gizi, ada beberapa faktor lain penyebab stunting. Diantara faktor tersebut adalah praktek pengasuhan yang kurang baik dari orang tua, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi, serta masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.
Dampak yang ditimbulkan oleh stunting untuk jangka pendek adalah terganggunya tumbuh kembang bayi, antara lain perkembangan kecerdasan otak, fisik, dan juga metabolisme. Sedangkan untuk jangka panjang, dampak yang ditimbulkan dari stunting adalah menurunnya prestasi belajar dan juga disabilitas.
Untuk jangka panjang dapat dikatakan bahwa stunting akan dapat menurunkan kualitas SDM di Indonesia.
Stunting mengancam pertumbuhan ekonomi
Dalam sudut pandang ekonomi, stunting juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
Dalam studi yang dilakukan Sebastian Mary pada tahun 2018, dilakukan observasi pada 74 negara berkembang pada tahun 1984 sampai 2014. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan turunnya GDP (Gross Domestic Products).
Kepala BAPPENAS pada tahun 2018 menyatakan bahwa dalam jangka panjang, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Melihat urgensi penanganan stunting bagi kemajuan negara, pada tahun 2019, sebanyak 100 kabupaten/kota menjadi prioritas pemerintah untuk intervensi stunting.
Untuk kasus stunting di Jawa Timur, data dari Dinas Kesehatan Jatim berdasarkan Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) per 20 Juli 2019, prevalensi stunting balita di Jatim sebesar 36,81 persen. Adapun, tiga daerah tertinggi prevalensinya yakni di Kota Malang sebesar 51,7 persen, Kabupaten Probolinggo 50,2 persen, dan Kabupaten Pasuruan 47,6 persen.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, prevalensi stunting balita umur 0 sampai 59 bulan di Jatim mencapai 32,81 persen. Angka ini lebih tinggi dari prevalensi stunting nasional yakni sebesar 30,8 persen. Dalam mengurangi angka stunting ini, pemerintah Jawa Timur melakukan upaya pencegahan stunting dengan mengadakan intervensi lewat kolaborasi dengan berbagai lembaga termasuk di dalamnya Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Namun pemerintah mengalami beberapa hambatan dalam penangan stunting ini diantaranya adalah, kurangnya perhatian masyarakat akan pentingnya penanggulangan stunting. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi yang layak juga masih kurang diperhatikan.
Di beberapa daerah masih beranggapan bahwa buang air di sungai lebih efisien daripada menggunakan kamar mandi, padahal pemerintah sudah menyediakan kamar mandi umum di daerah mereka.
Butuh peran lintas sektor
Stunting merupakan permasalahan yang bukan hanya jadi tanggung jawab satu sektor saja, tetapi seluruh elemen negara wajib melakukan penanggulangan stunting baik pencegahan maupun penanganan dampaknya. Pemerintah, NGO, media dan seluruh lapisan masyarakat harus saling bersinergi dalam mendukung upaya ini.
Pemerintah sendiri telah melakukan kebijakan intervensi gizi bagi ibu hamil dan balita. Selain itu pemerintah juga mengintervensi pengadaan air bersih dan juga kelayakan sanitasi. Namun, kegiatan tersebut akan terlaksana dengan baik jika seluruh lapisan masyarakat juga ikut aktif berpartisipasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu mengarahkan masyarakat untuk ikut aktif dalam mengawal gizi ibu dan bayi agar dapat menekan stunting. Dengan demikian diharapkan angka stunting nasional, angka kurang gizi, serta angka kematian ibu dan bayi dapat menurun. Selain itu, sosialisasi mengenai stunting dengan pendekatan sosial budaya juga sangat diperlukan.
This article was published on josstoday.com
Article written by Amalia Rizki
Researcher at RISED