Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Jamkesda, Inovasi yang Tidak Efektif?

Picture by www.bengkulutengahkab.go.id

Sejak diberlakukannya desentralisasi di Indonesia, skema pembiayaan kesehatan mengalami sejumlah perubahan termasuk di antaranya pemberlakuan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Studi oleh Sparrow et al. (2017) dilakukan untuk meneliti heterogeneitas dan efektivitas dari Jamkesda sebagai skema pembiayaan kesehatan di tingkat kabupaten selama periode 2004-2010. Studi ini mendapati bahwa efektivitas Jamkesda bervariasi tergantung pada keberlanjutan politik, mekanisme targeting, struktur manajemen, kontrak provider dan juga paket manfaat yang diberikan.

Sparrow et al. (2017) juga menemukan bahwa Jamkesda memiliki efek yang kecil pada akses terhadap layanan kesehatan, khususnya dampak berupa akses kesehatan di level rata-rata pada pasien rawat jalan saja. Pasien rawat jalan yang merasakan dampak dari Jamkesda ini ternyata didominasi kelompok kuintil menengah yang sebenarnya bukan target utama dari program subsidi nasional. Selain itu, ternyata penyelenggaraan Jamkesda belum berdampak signifikan terhadap peningkatan akses rumah sakit dan perbaikan jaminan keuangan. Namun di sisi lain, Jamkesda dapat meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan ketika provider-nya berasal dari gabungan sektor publik dan swasta, khususnya untuk perawatan yang merupakan rujukan dari Puskesmas.

Temuan Sparrow et al. (2017) sebenarnya menjadi indikasi dari potensi Jamkesda sebagai alternatif pembiayaan kesehatan tingkat daerah di Indonesia. Namun, potensi ini akan memiliki dampak yang berbeda di tiap daerah karena kebutuhan terkait kesehatan serta tata kelola kesehatan (health governance) yang berbeda di tiap daerah. Untuk menindaklanjuti keberagaman tersebut, diperlukan sebuah perencanaan program yang matang di tingkat pusat disertai pengadopsian yang tepat disesuaikan dengan konteks di masing-masing daerah. Bila diperlukan, serangkaian capacity building terkait tata kelola kesehatan dan manajemen pendanaan kesehatan (health financing) dapat dipertimbangkan untuk dilakukan, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Pengaruh paket manfaat (benefit package) yang disediakan terhadap efektivitas Jamkesda pun sebenarnya menuntut adanya komunikasi yang intens antara pembuat kebijakan dengan tenaga kesehatan (nakes) di berbagai tingkat fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dan Puskesmas. Sebelum menjalani sumpah sebagai tenaga kesehatan, seorang nakes sudah dibekali dengan serangkaian pengetahuan dan skill yang diperlukan dalam menegakkan diagnosis dan memberikan treatment untuk pasien. Pijakan untuk penegakan diagnosis dan penentuan treatment tersebut adalah sama antar kelompok nakes, tetapi implementasinya dapat berbeda sesuai dengan kondisi individual masing-masing pasien. Hal ini berimplikasi pada penyusunan paket manfaat tersebut, di mana para nakes terkait, misal dokter dan apoteker, dapat menyediakan sejumlah opsi kepada pembuat kebijakan terkait paket manfaat tersebut. Paket manfaat dapat disesuaikan dengan kebutuhan, harga, dan tak kalah pentingnya adalah efektivitas obat maupun medical treatment lainnya. Nakes tidak bisa menutup mata terhadap kejadian lobbying dari perusahaan farmasi atau produsen terkait lainnya, tetapi ketepatan medical treatment sudah semestinya menjadi hal yang diutamakan dalam menyusun dan memilih paket manfaat layanan kesehatan melalui Jamkesda ataupun sistem pendanaan kesehatan lainnya.

Disarikan dari Diskusi Internal “Sub-National Health Care Financing Reforms in Indonesia” oleh Nila Warda, S.E., M.Econ (pemateri) dan M. Fajar Rakhmadi, M.Ec (Discussant).

Penyari: Hesti Retno Budi Arini
RISED Deputy Director for Research and Programs

 

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *