Get In Touch
Gubeng Kertajaya V C/47 Surabaya,
East Java, 60286 - Indonesia
info@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510
Work Inquiries
rised@rised.or.id
Ph: +62 813 3516 1510

Pertumbuhan dan penurunan ketimpangan : Dapatkah berjalan beriringan?

Photo by : Andrey Gramica / Tirto.id

Berbagai perdebatan tentang apakah pertumbuhan ekonomi dapat meningkat sejalan dengan penurunan ketimpangan telah menjadi topik menarik bagi banyak ekonom dunia, termasuk Indonesia. Sebelum adanya pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2019 mencapai 4.97% (year-on-year) dan konsisten berada di angka sekitar 5% dalam 3 tahun terakhir. Namun, bagaimana upaya penuntasan ketimpangan penduduk berjalan?

Terdapat berbagai perspektif dalam ketimpangan seperti ketimpangan sosial dan ekonomi. Pada perspektif ketimpangan ekonomi yang tercermin pada indeks Gini, tingkat ketimpangan sejak September 2013 hanya berkutat pada angka 0.391-0.414. Angka ini diperparah dengan ketimpangan perkotaan yang tercatat berada di kisaran lebih lebar yakni 0.391-0.433. Selain itu, data per-Maret 2020 menyebutkan bahwa sebanyak 26.42 juta penduduk Indonesia hidup dengan pengeluaran sebesar 454.652 Rupiah per bulan atau 37 dolar Amerika Serikat, suatu ironi atas pencapaian Indonesia yang telah dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah keatas.

Adanya suatu ironi atas pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi ketimpangan yang tidak signifikan berubah menimbulkan pertanyaan “Apakah upaya yang dilakukan sudah efektif dalam mengurangi kesenjangan? Jika berbicara tentang upaya yang dilakukan, pemerintah tentu telah mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi kesenjangan melalui berbagai inovasi, salah satunya inovasi pada teknologi informasi dan komunikasi. Namun, inovasi yang seperti apa yang mampu mengurangi ketimpangan masyarakat, perlu menjadi perhatian disini. Inovasi yang ada, khususnya teknologi dan informasi, mungkin masih dinikmati sebagian kalangan, khususnya kalangan menengah keatas. Lagi, inovasi justru akan semakin memperlebar jurang ketimpangan antar golongan masyarakat.

Bagaimanapun, inovasi menjadi hal yang tak dapat dihindari, pun dengan konsekuensi semakin tingginya kesenjangan masyarakat. Lantas bagaimana inovasi dapat berkontribusi pada pengurangan ketimpangan? Adanya kesamaan aksesibilitas terhadap sumberdaya menjadi kunci agar inovasi menjadi solusi efektif dan inklusif bagi seluruh masyarakat. Pemerintah harus memastikan sumberdaya inovatif sebagai barang publik yang dapat diakses gratis oleh masyarakat. Misalnya pada suberdaya bidang informasi dan komunikasi melalui program penyediaan wifi gratis berpotensi menjadikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berkembang dan meningkatkan kualitas diri.

Contoh sederhana adalah akses terhadap YouTube sebagai platform penyedia berbagai informasi berbasis video dari berbagai penjuru dunia. Secara jelas rencana ini bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, masyarakat dapat mengakses Youtube untuk meningkatkan kualitas diri mereka: seperti belajar bahasa atau konten edukatif lainnya, tetapi di sisi lain juga banyak masyarakat yang menggunakan platform ini untuk tujuan lain yang bersifat non-edukatif.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah berperan dalam mendorong proporsi sisi yang lebih bermanfaat melalui kendali penggunaan fasilitas publik tersebut semata-mata hanya untuk tujuan peningkatan kualitas dan keterampilan sumberdaya manusia. Peningkatan sumberdaya manusia ini berpotensi meningkatkan iklim kompetitif pasar yang bermuara pada penurunan ketimpangan ekonomi. Hingga pada akhirnya, kesiapan sumberdaya manusia dan pasar yang kompetitif ini akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berjalan beriringan dengan penurunan ketimpangan ekonomi masyarakat.


Disarikan dari Diskusi Internal RISED dari Tulisan “Growth That Celebrates Inequality” oleh Namira Samir https://worldfinancialreview.com/growth-that-celebrates-inequality/

Penyari: Mohammad Zeqi Yasin – Divisi Penelitian – RISED

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *